Dalam tulisan sebelumnya, kita telah menyoal mengenal RUU KUHP pasal 417 yang menyoal tentang perzinaan, dan dianggap meresahkan karena dianggap terlalu mencampuri urusan percintaan warga negara. Namun, masih ada loh beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan dan dianggap gelandangan dikenai denda Rp 1 juta sesuai RUU KUHP pasal 431. Nah, ini tentu meresahkan bagi perempuan penggemar kehidupan atau wanita malam yang terpaksa bekerja pada malam hari. Tapi, benarkah demikian?
Menurut klarifikasi dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, pasal itu sejatinya ditujukan kepada gelandangan dan bukan perempuan yang memiliki identitas yang jelas. Jadi jelas ya, bahwa ternyata isu tersebut adalah hoax.
Yang juga tak kalah kontroversialnya adalah bicara mengenai aborsi. Seperti kita ketahui, ada banyak kehamilan yang tidak diinginkan lantaran disebabkan oleh pemerkosaan misalnya. Apalagi dunia malam dan kehidupan malam tak jarang bersinggungan dengan kejahatan seperti pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
RUU KUHP pasal 470 berbunyi demikian:
Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal ini dinilai diskriminatif terhadap korban perkosaan dan perempuan lainnya, serta bertentangan dengan UU Kesehatan yang sudah terlebih dahulu ada. Pada dasarnya, aborsi itu sudah dilarang di Indonesia seperti yang diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun dalam ayat 2 pasal tersebut, terdapat pengecualian untuk korban pemerkosaan dan ibu dalam keadaan gawat darurat. Juga pada pasal 76, terdapat penjelasan bahwa praktik aborsi untuk korban pemerkosaan dapat dilakukan saat usia kehamilan maksimal enam minggu.
Pemidanaan terkait aborsi juga diatur dalam pasal 251, 415, dan 469. Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun penjara. Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum yang seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi. Anda setuju dengan pernyataan ini bukan? Lalu apa klarifikasi dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly?
Menurutnya, ancaman pidana aborsi tak berlaku bagi korban perkosaan dan untuk alasan medis. Yasonna menjelaskan aborsi dapat dilakukan oleh perempuan korban perkosaan yang tidak menginginkan kehamilannya. Aborsi juga bisa dilakukan dengan alasan medis yang mengancam jiwa. “Seorang perempuan yang diperkosa oleh, karena dia tidak menginginkan janinnya, dalam terminasi tertentu dapat dilakukan. Karena alasan medik, mengancam jiwa misalnya dan itu juga diatur dalam UU Kesehatan,” jelas Yasonna.