Mengapa RUU PKS Harus Segera Disahkan? Tak hanya RUU KUHP, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga memicu kontroversi dan menjadi salah satu isu pada aksi demo belakangan ini, di mana para peserta aksi demo meminta agar RUU PKS segera disahkan dengan alasan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis kekerasan seksual dan beberapa alasan di bawah ini:
Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat
Menurut data dari Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi perempuan korban
Seperti kasus pelecehan seksual yang dialami Bunga (bukan nama sebenarnya) misalnya, mahasiswi UGM yang mengalami pelecehan saat sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) pada Juli 2017, di mana kasus ini berakhir dengan jalan damai dan diselesaikan secara kekeluargaan. Penyelesaian tersebut dilakukan karena proses untuk mendapatkan keadilan lewat jalur hukum cukup berat untuk dijalani. Dengan adanya RUU PKS nanti, akan ada penanganan yang dapat membantu korban dalam mengatasi hambatan yang dialami dalam sistem peradilan pidana dan memulihkan korban selama proses peradilan pidana berjalan. Contoh kasus lainnya adalah soal Baiq Nuril. Pegawai honorer di SMAN 7 NTB tersebut dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) serta divonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Ia dianggap bersalah melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi tindakan asusila. Padahal dokumen elektronik itu adalah rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 bernama Muslim, kepada Baiq Nuril yang dianggap berisi muatan pornografi. Dan Baiq Nuril sengaja menyimpan rekaman percakapan itu karena ia telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah.
Tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual selama ini
Menurut Komnas Perempuan, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercakup dalam RUU PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Tidak adanya pengaturan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual tersebut, sama dengan tidak adanya pemidanaan dan penindakan terhadap pelaku, sehingga membuka ruang bagi pelaku untuk bisa bebas tanpa jeratan hukum.
Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara
Dalam RUU PKS, diharapkan tercipta payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Ini karena dasarnya kekerasan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis; dan itu juga akan dialami oleh keluarga dan saksi korban.
Sementara itu, UU Perlindungan Anak hanya melindungi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga hanya mengatur hak perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang berusia anak saja, sedangkan korban yang berusia dewasa belum memperoleh jaminan perlindungan.
Pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi
RUU PKS mengusulkan pengaturan tindakan berupa rehabilitasi khusus bagi pelaku pelecehan seksual non-fisik dan pelaku berusia di bawah 14 tahun. Diharapkan ini bisa mengubah pola pikir serta sikap pelaku dan mencegah perbuatan serupa terulang lagi di masa depan.